A Never Ending Study

Friday, November 17, 2006

"real" University

Staying 2 months in new city, new working athmosphere, new people around remind me of last conversation with Pa Keith McKinley last august in Bandung Alliance International School.

That day I told him about living and working in a remote-area Public Health Center in South Borneo, completing my mandatory government service. How people's characters, how they live, how they describe and perceive a sickness and their appreciation to health worker. Also about how the government take over the poor-society health coverage system that still, seemed complicated and needed to be improved, about the people who keep pretend their complaints of sickness thought nothing serious happened, just because thinking that everything is their right and the country paid for that.
All things that I could'nt get in the university.
Literally, it is what we called as Public Health. I got 4 CSU of it in Univ and another 6 week of internship in Public Health. But when I got involved with it in real world than I found out that it's not even 10% of what we have in fact.
Shortly.... We learn each things, each single day, from everyone, in any places.

"real" University

Staying 2 months in new city, new working athmosphere, new people around remind me of last conversation with Pa Keith McKinley last august in Bandung Alliance International School.

That day I told him about living and working in a remote-area Public Health Center in South Borneo, completing my mandatory government service. How people's characters, how they live, how they describe and perceive a sickness and their appreciation to health worker. Also about how the government take over the poor-society health coverage system that still, seemed complicated and needed to be improved, about the people who keep pretend their complaints of sickness thought nothing serious happened, just because thinking that everything is their right and the country paid for that.
All things that I could'nt get in the university.
Literally, it is what we called as Public Health. I got 4 CSU of it in Univ and another 6 week of internship in Public Health. But when I got involved with it in real world than I found out that it's not even 10% of what we have in fact.
Shortly.... We learn each things, each single day, from everyone, in any places.

Sunday, July 30, 2006

Fnomena KS

Hari ini saya kedatangan pasien anak umur 5 tahun yang dibawa berobat pada saya 2 hari yang lalu. Saya masih ingat waktu itu keluhannya adalah gangguan saat buang air kecil, setelah pemeriksaan saya simpulkan anak tersebut menderita phymosis dan sebaiknya dilakukan sirkumsisi. Mendengar hal tersebut, orang tua anak nampaknya masih berkeberatan dan meminta sedapat mungkin diusahakan dengan pengobatan biasa (tanpa pembedahan). Saya jelaskan kembali bahwa kelainan tersebut tidak dapat diobati melainkan harus memalui tindakan. Kemudian mereka meminta waktu untuk memeprtimbangkan lagi dengan alasan belum siap (entah aspek apa….), usia anak yang masih terlalu muda atau hal lainnya. Dengan penjelasan, sekedar untuk mengurangi rasa sakit saya resepkan paracetamol sirup.

Pagi ini kembali mereka datang dan mengatakan siap untuk mengikuti saran kami, dan mereka telah menyiapkan segala keperluan bila memang dapat dilakukan sirkumsisi hari ini juga. Kebetulan hari ini beberapa staf Puskesmas sedang dinas luar (Posyandu, dsb.) termasuk mantri saya yang dapat dikatakan “ngetop’ di wilayah kerja kami, namun untungnya masih ada 1 lagi mantra yang lain yang selau siap mem-back up dan kebetulan lagi, beliau ini menurtu pendapat saya orang yang paling bisa diandalkan untuk urusan ‘tanpa pamrih’ dan menolong orang lain.
Setelah men-terapi 2 pasien berikutnya, kami pun menyiapkan peralatan minor surgery di ruang operasi Puskesmas. Si anak dengan gagah berani naik ke meja operasi dan siap ditindak, dia tampak sangat pintar dan koperatif ( baca : pasrah..heheheh).

Proses sirkumsisi berjalan agak lama dari biasa karena memang phymosys pada anak ini lumayan berat, perlengketannya cukup luas sehingga kami harus melakukan insisi blind pada jam 12 kemudian baru diikuti dengan pembersihan smegma.

Setelah operasi selesai saya menyiapkan antibiotik dan sediaan anti nyeri, kemudian menjelaskan pemakaian obat dan cara perawatan luka operasi. Tiba pada saat yang buat saya paling menegangkan, yaitu saat orang tua bertanya berapa ongkos tindakan…. Buat saya ini hal yang paling sulit (justru bukan tindakan apa yang harus diambil atau terapi apa yang harus dipilih). Berhubung pasien tersebut mmemegang Kartu Sehat (Askes Maskin) maka saya piker sebaiknya menanyakan langsung pada pengelola programnya. Dan ternayta jawabannya adalah : Sirkuksisi dan tindakan tidak dapat diklaim pada PT.Askes sehingga dibebankan pada penderita.

Beliau menjelaskan secara detail dan hati-hati, dan bapak anak tersebut (dari awal) sepenuhnya menyadari hal tersebut dan memang telah menyiapkan biayanya. Kami tarifkan sesuai tarif Perda untuk tindakan sirkumsisi dan tampaknya bapak tersebut sangat puas dan berterima kasih atas kebijakan (dan tentunya atas tindakan dan penjelasan yang diberikan).

Hal yang membuat saya merasa tersentuh adalah saat bapak tersbut mengeluarkan sejumlah uang yang terdiri dari lembaran 5000-an dan sejumlah pecahan 1000-an. MASYA ALLAH…. Saya rasa ini orang yang benar-benar punya harga diri… Saya salut sekali denagn keluarga ini…. Mereka menyadari betul bagaimana memanfaatkan fasilitas berobat gratis dan manakala mereka juga harus menghargai jasa upaya orang lain.

Hal ini membuat saya kembali berpikir (dan sedikit geram) bila mengingat sejumlah keluarga pemegang kartu Askes Maskin lain yang menjadi langganan tetap dan pengunjung setia Puskesmas, bahkan dapat setiap 2 hari sekali, dengan keluhan tidak berarti dan beberapa kali saya tidak dapat menentukan diagnosa karena emmang tidak ada kelainan yang ditemukan.

Mayoritas datang dengan keluhan pegal-pegal, sakit pinggang, sakit-sakit badan, sakit kepala tanpa aura dan tanpa tanda bahaya. Riwayat pekerjaan pun memang mayoritas tani / pekerja fisik, jadi saya pikir tak heran memang keluhan itu terasa saat malam hari karena siangnya kelelahan. Dan asumsi mereka diperiksa dan diobati (disuntik!!!) akan menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut.
Saat awal- awal bertugas saya masih dapat dengan sabar menjelaskan proses yang sebenernya terjadi pada diri mereka dan harapan saya mereka dapat memaklumi dan me-manage hidup mereka sendiri. Tapi lama- lama saya agak uring-uringan juga kalau mereka terus kembali setiap 2 hari denagn keluhan yang sama dan mengeluh “ belum sembuh- sembuh nih, kemaren pas diobatin agak kurang tapi habis itu kambuh lagi, harus disuntik aja biar enak……”
Ini kalimat yang saya paling alergi mendengarnya, kenapa sih asumsi disuntik itu dapat menyembuhkan semua penyakit sangat sulit dihilangkan. Setiap kali ada pasien begini saya selalu tampik dengan penjelasan yang saya kira cukup memadai.

Belum lagi beberapa pasien yang dating dengan gastritis berulang, yang tidak dibarengi dengan penertiban diet dan waktu makan walaupun sudah dijelaskan berulang-ulang bahkan cara terbaik adalah dengan mengatur waktu makan terlebih dahulu, barulah terapi medikamentosa diambil bila memang (akut) diperlukan. Dan dengan entengnya mereka beralasan “ perut rasanya ga enak, kepala pusing, jadi rasanya ga mau makan,,,,” nah loh…. Gimana mau sembuh klo makan tetap ga teratur. Trus apa yang harus saya lakukan saat orang-orang ini emmang meilih makan obat daripada makan makanan biasa ???? sementara mulut saya sudah berbusa menjelaskan bagaimana mengatasi keluhannya tanpa harus tergantung pada obat.

Malah kadang ada yang memaksa minta disuntik, padahal hipertensi berat…. Dan indikasi injeksi pun tidak ada. Saya paling sebal kalau sudah punya pasien begini, maunya berobat atau mau memerintah supaya disuntik, kok malah ngatur seenaknya… nanti kalau ada apa-apa siapa yang tanggung jawab??? Pasti layanan kesehatan lah…

Nah.. kebanyakan pasien yang model seperti diatas adalah pemegang kartu “berobat gratis”, tampaknya sudah menjadi fenomena ‘mumpung gratis” bagi mereka bahwa dengan fasilitas tersebut mereka harus memanfaatkan sebanyak-banyaknya. Padahal kenyataannya itu tadi… mereka tidak sakit secara berarti dan bahkan kalau ditanya keluhannya apa akan dijawab “ sakit apa? Banyak… segala ga enak, periksa aja…..” atau “ minta disuntik”
Masya Allah… disini saya selalu geregetan bukan main, kalau tidak ada keluhan subjektif bagaimana mungkin saya beralih ke pemeriksaan fisik tanpa ada arahan temuan apa yang harus dicari, atau apa saya harius langsung turuti permintaan mereka disuntik yang hanya karena indikasi ‘pengen disuntik” padahal boro-boro ada kelainan, keluhan aja tidak ada kok.

Apa mereka tahu bahwa klaim yang dapat dituntut hanya 1000 rupiah/pasien/bulan padahal orang tersebut dapat berobat 10 kali dalam sebulan, yang entah obatnya dimakan atau tidak, yang entah ada manfaatnya atau tidak karena penyakit dasarnya sama sekali tidak bermakna.

Tampaknya fenomena PARADIGMA SEHAT justru semakin sulit terwujud bila masyarakat menganggap karena berobat gratis ya manfaatkan sebanyak mungkin, berobat terus sesering mungkin, bila terasa ada sedikiti yang tidak enak langsung saja minta obat, kalau obatnya habis ya langsung saja minta obat lagi, tanpa pernah menerima pertimbangan risk-benefit ratio dari konsumsi obat jangka panjang. Justru masyarakat cenderung menganut PARADIGMA SAKIT, menganggap dirinya harus terus berobat dan mengkonsumsi obat seumur-umur.

Sulit.. sulit merubah pola pikir dan kebiasaan yang menyimpang sekalipun sudah dijelaskan berualng-ualng. Tapi tampaknya memang masyarakatnya belum siap, masih terlalu manja.

Kembali ke kasus phymosis yang mengharuskan anak tadi disirkumsisi, yang membayar dengan recehan karena tindakannya tidak dapat diklaim ke Askes. Saya pikir alangkah bijaknya bila ditinjau kembali kasus-perkasus biaya yang dibebankan pada system jaminan ksehatan masyarakat miskin. Menurut saya akan lebih berguna bila pembiayaan secara total diberikan pada kasus yang serius dan memang berprognosa baik daripada lebih banyak dialokasikan untuk kasus- kasus tanpa diagnosa berarti. Kasus serius yang perlu penanganan secara menyeluruh pasti jumlahnya jauh bila dibandingkan denagn kasus-kasus ringan dan ecek-ecek yang juga harus dibayar oleh Askes. Kasus- kasus ringan seharusnya tetap ditarik biaya sehingga merekapun berpikir dua kali untuk mengeluhkan keluhan yang tidak berarti tersebut. Dan yang pasti dengan dibarengi promosi kesehatan masyarakat tidak akan lagi merasa “ketergantungan’ terhadap obat-obat yang disediakan gratis di Puskesmas dan menyadari bahwa tidak semua kelainan harus diterapi dengan medikamentosa, tapi manipulasi gaya hidup lah langkah awal yang paling tepat.

Monday, July 03, 2006

dokter sibuk

duh.. saya tampak sibuk ini-itu nih... terutama semenjak season of scholarship application is coming
Padahal mah banyak cerita and pengalaman yang mau dibagi.. kapan-kapan aja kali ya...:P

Sunday, May 14, 2006

Welcome friends !!

Kemaren sore rumah saya diserbu temen-temen sejawat yang baru akan mulai PTT di Kalsel, mereka semua rombongan lulusan Jakarta (Yarsi, UI,Trisakti, UKI) yang hari ini pada berangkat ke tempat tugas masing-masing.
Yang menarik, kita semua ga saling kenal sama sekali sebelumnya (walaupun kesan 'baru kenal' itu hilang sama sekali beberapa menit kemudian hehehe...). Hanya karena salah satunya adalah putri kenalan orang tua saya jadi lah mereka semua bersilaturrahmi dan sekalian tukar info seputar kehidupan dokter PTT (cie...kaya apa ajah)

Waktu kami habiskan dengan diskusi dan membahas berbagai kebijakan pemerintah akan nasib kami, termasuk janji-janji ibu Menkes. Kebetulan satu hari sebelumnya mereka ikutan silaturrahmi sama Menkes , jadi lumayan lah buat saya juga nambah2 info.

Dari segala hal yang kami diskusikan, ada beberapa hal yang dapat diambil nilainya. Yakni mereka semua berada pada situasi kekhawatiran dan beribu pertanyaan di benaknya mengenai bagaimana "hidup baru" mereka kelak, persis ketika saya mulai PTT 8 bulan lalu. Pada intinya perubahan akan selalu menimbulkan tanda tanya mengingat perubahan means sesuatu yang beda dari yang biasa kita punya, kita alami atau kita rasakan.

Sesuatu yang kita tidak tau pasti akan lebih baik atau lebih buruk dari hari ini, namun sebaiknya kita tetap ber-positive-thinking bahwa segala yang terjadi akan menuju kepada sesuatu yang lebih baik untuk kita dan begitu pula menurut-Nya, meskipun ada kalanya buat kita itu bukanlah seperti dalam bayangan kita dan jauh dari harapan namun menurut-Nya itu pasti yang terbaik untuk kita.

Toh kita semua berangkat dengan niat baik...maka jalanilah dengan itikad baik...Insya Allah hasilnya baik.

Keep on fighting friends! Welcome to real world of being doctor in remote area.
We'll share the stories again later! :)

Thursday, May 11, 2006

Why it is called so?

Medicine is never ending study........ maybe these words are everywhere when you're studying in Medical school. At least that happended to me, I heard it more than a housand times when I had been in Med school for almost 7 seven years without knowing exactly what it is or even it would work on me someday. Professors said so, lecturers said so, even we, the students, have been shouting out to each other in order to make a joke at each other though.

But nowadays, when I'm really getting into the 'real' world that I have to stand and act (supposed to be) like a doctor :P, I know that "MEDICINE ....IS A NEVER ENDING STUDY" is a must!!!!!

The world seems so big, the patients and cases vary in a great great...great numbers!! It's not like what's written in the books (even it's 1XXX-paged one). And suddenly I'm becoming smaller and smaller... God what have I been doing this long... I thought I got too much but then I know I just got a tiny tiny little pieces.... and there are soooo much more to learn.

So, I created this blog to share my daily case finding, the special patient, special case, uncommon drug reactions, social and legal aspect of health service brought in my working territory ...and other stuffs so each of us could learn from it.