Hari ini saya kedatangan pasien anak umur 5 tahun yang dibawa berobat pada saya 2 hari yang lalu. Saya masih ingat waktu itu keluhannya adalah gangguan saat buang air kecil, setelah pemeriksaan saya simpulkan anak tersebut menderita phymosis dan sebaiknya dilakukan sirkumsisi. Mendengar hal tersebut, orang tua anak nampaknya masih berkeberatan dan meminta sedapat mungkin diusahakan dengan pengobatan biasa (tanpa pembedahan). Saya jelaskan kembali bahwa kelainan tersebut tidak dapat diobati melainkan harus memalui tindakan. Kemudian mereka meminta waktu untuk memeprtimbangkan lagi dengan alasan belum siap (entah aspek apa….), usia anak yang masih terlalu muda atau hal lainnya. Dengan penjelasan, sekedar untuk mengurangi rasa sakit saya resepkan paracetamol sirup.
Pagi ini kembali mereka datang dan mengatakan siap untuk mengikuti saran kami, dan mereka telah menyiapkan segala keperluan bila memang dapat dilakukan sirkumsisi hari ini juga. Kebetulan hari ini beberapa staf Puskesmas sedang dinas luar (Posyandu, dsb.) termasuk mantri saya yang dapat dikatakan “ngetop’ di wilayah kerja kami, namun untungnya masih ada 1 lagi mantra yang lain yang selau siap mem-back up dan kebetulan lagi, beliau ini menurtu pendapat saya orang yang paling bisa diandalkan untuk urusan ‘tanpa pamrih’ dan menolong orang lain.
Setelah men-terapi 2 pasien berikutnya, kami pun menyiapkan peralatan minor surgery di ruang operasi Puskesmas. Si anak dengan gagah berani naik ke meja operasi dan siap ditindak, dia tampak sangat pintar dan koperatif ( baca : pasrah..heheheh).
Proses sirkumsisi berjalan agak lama dari biasa karena memang phymosys pada anak ini lumayan berat, perlengketannya cukup luas sehingga kami harus melakukan insisi blind pada jam 12 kemudian baru diikuti dengan pembersihan smegma.
Setelah operasi selesai saya menyiapkan antibiotik dan sediaan anti nyeri, kemudian menjelaskan pemakaian obat dan cara perawatan luka operasi. Tiba pada saat yang buat saya paling menegangkan, yaitu saat orang tua bertanya berapa ongkos tindakan…. Buat saya ini hal yang paling sulit (justru bukan tindakan apa yang harus diambil atau terapi apa yang harus dipilih). Berhubung pasien tersebut mmemegang Kartu Sehat (Askes Maskin) maka saya piker sebaiknya menanyakan langsung pada pengelola programnya. Dan ternayta jawabannya adalah : Sirkuksisi dan tindakan tidak dapat diklaim pada PT.Askes sehingga dibebankan pada penderita.
Beliau menjelaskan secara detail dan hati-hati, dan bapak anak tersebut (dari awal) sepenuhnya menyadari hal tersebut dan memang telah menyiapkan biayanya. Kami tarifkan sesuai tarif Perda untuk tindakan sirkumsisi dan tampaknya bapak tersebut sangat puas dan berterima kasih atas kebijakan (dan tentunya atas tindakan dan penjelasan yang diberikan).
Hal yang membuat saya merasa tersentuh adalah saat bapak tersbut mengeluarkan sejumlah uang yang terdiri dari lembaran 5000-an dan sejumlah pecahan 1000-an. MASYA ALLAH…. Saya rasa ini orang yang benar-benar punya harga diri… Saya salut sekali denagn keluarga ini…. Mereka menyadari betul bagaimana memanfaatkan fasilitas berobat gratis dan manakala mereka juga harus menghargai jasa upaya orang lain.
Hal ini membuat saya kembali berpikir (dan sedikit geram) bila mengingat sejumlah keluarga pemegang kartu Askes Maskin lain yang menjadi langganan tetap dan pengunjung setia Puskesmas, bahkan dapat setiap 2 hari sekali, dengan keluhan tidak berarti dan beberapa kali saya tidak dapat menentukan diagnosa karena emmang tidak ada kelainan yang ditemukan.
Mayoritas datang dengan keluhan pegal-pegal, sakit pinggang, sakit-sakit badan, sakit kepala tanpa aura dan tanpa tanda bahaya. Riwayat pekerjaan pun memang mayoritas tani / pekerja fisik, jadi saya pikir tak heran memang keluhan itu terasa saat malam hari karena siangnya kelelahan. Dan asumsi mereka diperiksa dan diobati (disuntik!!!) akan menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut.
Saat awal- awal bertugas saya masih dapat dengan sabar menjelaskan proses yang sebenernya terjadi pada diri mereka dan harapan saya mereka dapat memaklumi dan me-manage hidup mereka sendiri. Tapi lama- lama saya agak uring-uringan juga kalau mereka terus kembali setiap 2 hari denagn keluhan yang sama dan mengeluh “ belum sembuh- sembuh nih, kemaren pas diobatin agak kurang tapi habis itu kambuh lagi, harus disuntik aja biar enak……”
Ini kalimat yang saya paling alergi mendengarnya, kenapa sih asumsi disuntik itu dapat menyembuhkan semua penyakit sangat sulit dihilangkan. Setiap kali ada pasien begini saya selalu tampik dengan penjelasan yang saya kira cukup memadai.
Belum lagi beberapa pasien yang dating dengan gastritis berulang, yang tidak dibarengi dengan penertiban diet dan waktu makan walaupun sudah dijelaskan berulang-ulang bahkan cara terbaik adalah dengan mengatur waktu makan terlebih dahulu, barulah terapi medikamentosa diambil bila memang (akut) diperlukan. Dan dengan entengnya mereka beralasan “ perut rasanya ga enak, kepala pusing, jadi rasanya ga mau makan,,,,” nah loh…. Gimana mau sembuh klo makan tetap ga teratur. Trus apa yang harus saya lakukan saat orang-orang ini emmang meilih makan obat daripada makan makanan biasa ???? sementara mulut saya sudah berbusa menjelaskan bagaimana mengatasi keluhannya tanpa harus tergantung pada obat.
Malah kadang ada yang memaksa minta disuntik, padahal hipertensi berat…. Dan indikasi injeksi pun tidak ada. Saya paling sebal kalau sudah punya pasien begini, maunya berobat atau mau memerintah supaya disuntik, kok malah ngatur seenaknya… nanti kalau ada apa-apa siapa yang tanggung jawab??? Pasti layanan kesehatan lah…
Nah.. kebanyakan pasien yang model seperti diatas adalah pemegang kartu “berobat gratis”, tampaknya sudah menjadi fenomena ‘mumpung gratis” bagi mereka bahwa dengan fasilitas tersebut mereka harus memanfaatkan sebanyak-banyaknya. Padahal kenyataannya itu tadi… mereka tidak sakit secara berarti dan bahkan kalau ditanya keluhannya apa akan dijawab “ sakit apa? Banyak… segala ga enak, periksa aja…..” atau “ minta disuntik”
Masya Allah… disini saya selalu geregetan bukan main, kalau tidak ada keluhan subjektif bagaimana mungkin saya beralih ke pemeriksaan fisik tanpa ada arahan temuan apa yang harus dicari, atau apa saya harius langsung turuti permintaan mereka disuntik yang hanya karena indikasi ‘pengen disuntik” padahal boro-boro ada kelainan, keluhan aja tidak ada kok.
Apa mereka tahu bahwa klaim yang dapat dituntut hanya 1000 rupiah/pasien/bulan padahal orang tersebut dapat berobat 10 kali dalam sebulan, yang entah obatnya dimakan atau tidak, yang entah ada manfaatnya atau tidak karena penyakit dasarnya sama sekali tidak bermakna.
Tampaknya fenomena PARADIGMA SEHAT justru semakin sulit terwujud bila masyarakat menganggap karena berobat gratis ya manfaatkan sebanyak mungkin, berobat terus sesering mungkin, bila terasa ada sedikiti yang tidak enak langsung saja minta obat, kalau obatnya habis ya langsung saja minta obat lagi, tanpa pernah menerima pertimbangan risk-benefit ratio dari konsumsi obat jangka panjang. Justru masyarakat cenderung menganut PARADIGMA SAKIT, menganggap dirinya harus terus berobat dan mengkonsumsi obat seumur-umur.
Sulit.. sulit merubah pola pikir dan kebiasaan yang menyimpang sekalipun sudah dijelaskan berualng-ualng. Tapi tampaknya memang masyarakatnya belum siap, masih terlalu manja.
Kembali ke kasus phymosis yang mengharuskan anak tadi disirkumsisi, yang membayar dengan recehan karena tindakannya tidak dapat diklaim ke Askes. Saya pikir alangkah bijaknya bila ditinjau kembali kasus-perkasus biaya yang dibebankan pada system jaminan ksehatan masyarakat miskin. Menurut saya akan lebih berguna bila pembiayaan secara total diberikan pada kasus yang serius dan memang berprognosa baik daripada lebih banyak dialokasikan untuk kasus- kasus tanpa diagnosa berarti. Kasus serius yang perlu penanganan secara menyeluruh pasti jumlahnya jauh bila dibandingkan denagn kasus-kasus ringan dan ecek-ecek yang juga harus dibayar oleh Askes. Kasus- kasus ringan seharusnya tetap ditarik biaya sehingga merekapun berpikir dua kali untuk mengeluhkan keluhan yang tidak berarti tersebut. Dan yang pasti dengan dibarengi promosi kesehatan masyarakat tidak akan lagi merasa “ketergantungan’ terhadap obat-obat yang disediakan gratis di Puskesmas dan menyadari bahwa tidak semua kelainan harus diterapi dengan medikamentosa, tapi manipulasi gaya hidup lah langkah awal yang paling tepat.